Puisi Gugur Karya Rendra Gugur Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya. Tiada kuasa lagi menegak. Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya ke dada musuh yang merebut kotanya. Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya. Ia sudah tua luka-luka di badannya. Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya. Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya. Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antara anaknya. Ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya. Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya. Belum lagi selusin tindak maut pun menghadangnya. Ketika anaknya memegang tangannya ia berkata "Yang berasal dari tanah kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah; tanah Ambarawa yang kucinta. Kita bukanlah anak jadah kerna kita punya bumi kecintaan. Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya. Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan. Bumi kita adalah jiwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang." Hari pun berangkat malam Bumi berpeluh dan terbakar Kerna api menyala di kota Ambarawa. Orang itu kembali berkata "Lihatlah, hari telah fajar! Wahai bumi yang indah kita akan berpelukan buat selama-lamanya! Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menancapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun akan berkata - Alangkah gemburnya tanah di sini." Hari pun lengkap malam ketika ia menutup Potret Pembangunan dalam Puisi 1993Puisi GugurKarya Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta Solo, Jawa Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 pada usia 73 tahun di Depok, Jawa Barat.
bacapuisi | sagu ambon | karya ws rendra | dibacakan oleh kak pachedalam kegiatan sajak teras kolaka#23"tanah air, merdeka!"di cafe distric cafe kolaka Mengungkapkan cinta memang banyak bentuknya, ada yang melalui kata-kata, bahkan ada yang diabadikan melalui hal itu juga yang dialami oleh Willibrordus Surendra Broto Rendra, atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Rendra merupakan seorang penyair, dramawan, pemeran sekaligus sutradara teater asal Indonesia. Ia pun kerap mengabadikan curahan hatinya melalui puisi, baik bertemakan cinta atau jika memang ingin melihat lebih jauh terkait karyanya, kali ini telah merangkum beberapa puisi cinta karya Rendra yang penuh makna dan Serenda biruUnsplash/Daniel ĂlvasdAlang-alang dan rumputanbulan mabuk di dan rumputanangin membawa bau putihselalu berubah rupayang datang deritaKetika hujan datangmalamnya sudah tuaangin sangat garangdinginnya tak bangkit dari tidurkudan menatap langit janganlah angin itumenyingkap selimut kekasihku!Editors' Picks2. EpisodeFreepik/ProstoolehKami duduk berduadi bangku halaman jambu di halaman ituberbuah dengan lebatnyadan kami senang yang lewatmemainkan daun yang ia bertanyaâMengapa sebuah kancing bajumulepas terbuka?âAku hanya ia sematkan dengan mesrasebuah peniti menutup itu aku bersihkanguguran bunga jambuyang mengotori â ganas karena bahagia dan sedih,indah dan gigih cinta kita di dunia yang fanaNyawamu dan nyawaku dijodohkan langit,dan anak kita akan lahir di cakrawalaAda pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanyaJuwitaku yang cakap meskipun tanpa dandananuntukmu hidupku kehidupan berpendar-endar menakjubkanIsyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penakuTanpa sekejap pun luput dari kenangan padamuaku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan4. Pamplet cintaPixabay/fotoworkshop4you-2995268Ma, nyamperin matahari dari satu sisiMemandang wajahmu dari segenap jurusanAku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutanAku melihat waktu melaju melanda masyarakatkuAku merindukan wajahmu,Dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswaKampus telah diserbu mobil berlapis bajaKata-kata telah dilawan dengan senjataAku muak dengan gaya keamanan semacam iniKenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan keteganganSumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehatKeamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasanSuatu malam aku mandi di lautanSepi menjadi kacaBunga-bunga yang ajaib bermekaran di langitAku inginkan kamu, tapi kamu tidak adaSepi menjadi kacaApa yang bias dilakukan oleh penyairbila setiap kata telah dilawan dengan kuasa?Udara penuh rasa curigaTegur sapa tanpa jaminan5. OptimismePexels/Andrea PiacquadioCinta kita berdua adalah istana dari porselenAngin telah membawa kedamaianMembelitkan kita dalam pelukanBumi telah member kekuatan,Karena kita telah melangkahdengan ketegasanMuraiku,Hati kita berdua adalah pelangi selusin warnaNah, itulah beberapa kumpulan puisi cinta karya Rendra yang bisa dinikmati. Beberapa puisi tersebut juga ada yang ditujukan untuk istrinya dahulu, yaitu Sunarti dari sekian banyak puisi Rendra yang paling menyentuh hati?Baca juga10 Puisi Cinta Romantis Karya Sastrawan yang Bikin Hati Pasangan LuluhBikin Baper, Ini 5 Puisi Cinta Karya Sapardi Djoko Damono Menyentuh, 40 Puisi Putri Marino yang Mengajarkan Arti KehidupanPadakesempatan ini saya mencoba memposting puisi karya-karya sastra legendaris WS Rendra, semoga hal ini dapat membantu untuk mengembangkan karya sastra Indonesia terutama untuk memacu generasi muda bangsa untuk semakin kreatif dan inovative dalam mewujudkan sastra Indonesia. Waktu itu hujan rinai. Aku menarik sehelai plastik dari tong
Puisi Telah Satu Karya Rendra Telah Satu Gelisahmu adalah gelisahku. Berjalanlah kita bergandengan dalam hidup yang nyata, dan kita cintai. Lama kita saling bertatap mata dan makin mengerti tak lagi bisa dipisahkan. Engkau adalah peniti yang telah disematkan. Aku adalah kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan. Kita berdua adalah lava yang tak bisa lagi diuraikan. Sumber Gajah Mada 1958Analisis PuisiPuisi "Telah Satu" merupakan salah satu puisi cinta populer karya penyair Indonesia, Rendra. Puisi ini menceritakan tentang sepasang kekasih yang telah menyatu dalam kasih sayang dan "Telah Satu" karya Rendra memiliki beberapa hal menarik yang dapat ditemukan di dalamnya. Berikut adalah beberapa hal menarik dari puisi iniKesatuan dan Persatuan Puisi ini menekankan kesatuan dan persatuan antara dua individu yang saling mencintai. Penulis mengungkapkan bahwa gelisah satu orang adalah gelisah yang dirasakan oleh yang lainnya. Hal ini menggambarkan kedekatan dan keterikatan emosional yang kuat antara dua Objek Penulis menggunakan simbolisme objek dalam puisi ini. Engkau diibaratkan sebagai peniti yang telah disematkan, sedangkan aku diibaratkan sebagai kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan. Dalam gambaran ini, penulis menggambarkan ketergantungan satu sama lain dan sulitnya untuk yang Tak Bisa Diuraikan Pada akhir puisi, penulis menggunakan metafora lava yang tak bisa lagi diuraikan untuk menggambarkan kekuatan dan kesatuan yang tidak bisa terpisahkan antara dua individu. Lava melambangkan keintiman dan ketahanan hubungan mereka yang tidak dapat Bahasa yang Sederhana namun Kuat Puisi ini ditulis dengan bahasa yang sederhana namun mampu menggambarkan kedalaman perasaan dan hubungan antara dua individu. Kata-kata yang digunakan menggambarkan keintiman, kebersamaan, dan keterikatan yang keseluruhan, puisi "Telah Satu" karya Rendra menggambarkan hubungan yang erat antara dua individu yang saling mencintai. Puisi ini menarik perhatian dengan penggunaan bahasa yang sederhana namun kuat dalam menggambarkan perasaan dan keintiman, serta menggugah kesadaran tentang hubungan emosional yang Telah SatuKarya Rendra lahir pada tanggal 7 November 1935 di Surakarta Solo, Jawa Rendra meninggal dunia pada tanggal 6 Agustus 2009 pada usia 73 tahun di Depok, Jawa Barat.W.S. Rendra) Cipayung Jaya, 4 April 2006 Kabut fajar menyusut dengan perlahan. Bunga bintaro berguguran di halaman perpustakaan. Di tepi kolam, di dekat rumpun keladi, aku duduk di atas batu, melelehkan air mata. Cucu-cucuku! Zaman macam apa, peradaban macam apa, yang akan kami wariskan kepada kalian! Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang.
Beranda 5 Puisi Atasan dan Bawahan Paling Bikin Gregetan 6 Puisi Cinta LDR Ini Bakal Bikin Kamu Sedih Bin Galau, Jangan Baca! 7 Puisi Jomblo Paling Ngenes dan Bikin Baper â Ayo Mblo Pada Ngumpul! Siapa Sih Norman Adi Satria? Kirim Puisi Puisi Normantis Puisi Cinta Tak Harus Romantis! Home Cinta Seks Bertepuk Sebelah Tangan Cemburu Cinta Sejati Galau Jomblo Kesetiaan Cinta Konflik Cinta LDR Mantan Selingkuh Rayuan Gombal Kehidupan Sahabat Atasan dan Bawahan Ayah Ibu Suami Istri Kebangsaan Puisi Kehidupan Rakyat Miskin Puisi Politik dan Pemerintahan Puisi Sejarah Nyeleneh Puisi Jenaka Religi Puisi Islami Puisi Rohani Katolik dan Kristen Puisi Toleransi Beragama Renungan Sindiran Amarah Pemikiran Esai Bedah Puisi Tips & Trik Penulisan Quotes Cerpen Humor Penyair Norman Adi Satria Pramoedya Ananta Toer Chairil Anwar WS Rendra Sapardi Djoko Damono Remy Sylado Kahlil Gibran Jalaluddin Rumi Ajip Rosidi Emha Ainun Nadjib Cak Nun Seno Gumira Ajidarma Joko Pinurbo Goenawan Mohamad Gus Mus Wiji Thukul Sujiwo Tejo Sitor Situmorang Subagio Sastrowardoyo Soe Hok Gie Dewi âDeeâ Lestari Djenar Maesa Ayu Mohammad Yamin Bambang Trim Socrates Plato Asrul Sani Tatengkeng Sanusi Pane Eduard Douwes Dekker Multatuli Rustam Effendi Sumarso âOsramâ Sumarsono Kiriman Pembaca Budi Lengket Nyi Galuh Titi Aoska Moksa Saf Rin Karim Angga Pradipta Riska Cania Dewi Fenia Eva Saputri Devi Ardiyanti Aniva Kusuma Wardani Mohammad Syaâroni Normantis Update 17 September 2018 in Cinta Sejati // Sajak Pelacur Senja â Wahyu Arsyad 17 September 2018 in // Seorang Laki-Laki dan Masalalu â Puisi Kiriman Yanwi Mudrikah 17 September 2018 in // Ketika Menikah Itu â Puisi Kiriman Yanwi Mudrikah 9 September 2018 in Ibu // Gagal Bad Boy â Puisi Wahyu Arsyad 1 Mei 2018 in // Lagu Persetubuhan â Puisi Wiji Thukul 24 April 2018 in Cerpen // Sujiwo Tejo Antara âYayangâ dan âYang Muliaâ 23 April 2018 in Esai // Sujiwo Tejo Kejahatan Kera Bukan Kerah Putih 23 April 2018 in Cerpen // Cerpen Cak Nun Podium 23 April 2018 in Esai // Pengalaman Sekitar Menulis Karangan Sastera â Sutan Takdir Alisjahbana 19 April 2018 in Esai // Kegalauan Kartini â Oleh Norman Adi Satria 16 Maret 2018 in // Di Tanah Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Air â Puisi Wiji Thukul 16 Maret 2018 in // Puisi Si Buta â Wiji Thukul 15 Maret 2018 in Cerpen // Cerpen Rendra Ia Membelai-Belai Perutnya 15 Maret 2018 in Cerpen // Cerpen Rendra Pohon Kemboja 13 Maret 2018 in La Ode Muhammad Jannatun // Kepadamu yang Terlanjur Abadi â Puisi Kiriman La Ode Muhammad Jannatun 17 Februari 2018 in Cerpen // Cerpen Tentang Transgender karya Cak Nun BH 13 Februari 2018 in Cerpen // Cerpen Rendra Ia Masih Kecil 11 Februari 2018 in Bertepuk Sebelah Tangan // Mencintaimu Dalam Diam â Puisi Kiriman Nuriman N. Bayan 5 Februari 2018 in Ibu // Tiga Sajak Kecil â Sapardi Djoko Damono 5 Februari 2018 in // Ruang Tunggu â Puisi Sapardi Djoko Damono 5 Februari 2018 in // Tiga Sajak Ringkas Tentang Cahaya â Sapardi Djoko Damono 20 Desember 2017 in Indra Lesmana // Kembali Mengingatmu Cinta Sejati â Puisi Kiriman Indra Lesmana 20 Desember 2017 in Galau // Daras Untuk Pujaan â Puisi Kiriman Kiaara 17 Desember 2017 in Esai // Esai Sujiwo Tejo Mesin Cuci Perempuan Itu Multitasking 30 November 2017 in Chairil Anwar // Dua Sajak Buat Basuki Resobowo â Chairil Anwar 25 November 2017 in // Baju Loak Sobek Pundaknya â Puisi Wiji Thukul 25 November 2017 in // Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa â Puisi Wiji Thukul 25 November 2017 in // Momok Hiyong â Puisi Wiji Thukul 25 November 2017 in // Aku Berkelana di Udara â Puisi Wiji Thukul 23 Oktober 2017 in // Titik-Titik â Puisi Kiriman Wahyu Pamungkas 18 Oktober 2017 in // Terus Terang Saja â Puisi Wiji Thukul 18 Oktober 2017 in // Buron â Puisi Wiji Thukul 5 Oktober 2017 in // Dua Telur â Puisi Kiriman Wahyu Arsyad 5 Oktober 2017 in Anja Oktovano // Nola Dalam Imagi â Puisi Kiriman Anja Oktovano 26 September 2017 in // Sudah Dibajak â Puisi Sutan Takdir Alisjahbana 20 September 2017 in Cerpen // Laki-Laki Tanpa Celana â Cerpen Joko Pinurbo 18 September 2017 in Norman Adi Satria // Zaman Musa VS Zaman Herodes â Puisi Norman Adi Satria 14 September 2017 in Mantan // Mantanku Kupu-Kupu â Puisi Norman Adi Satria 12 September 2017 in Norman Adi Satria // Surat Abang Kepada Adiknya yang Nyaris Dipenjara â Puisi Norman Adi Satria 6 September 2017 in Mantan // Layangan Temangsang â Puisi Norman Adi Satria Karya WS Rendra Posted in Atasan dan Bawahan, Penyair, WS Rendra // 1 Comment Waktu - Puisi WS Rendra WAKTU Karya WS Rendra Waktu seperti burung tanpa hinggapan melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan sayap-sayap mukjizat terkebar dengan cekatan. Waktu seperti butir-butir air dengan nyanyi dan tangis angin silir berpejam mata dan pelesir tanpa akhir. Dan waktu juga seperti pawang tua menunjuk arah cinta dan arah keranda. WS Rendra Buku Stanza dan Blues â Malam Stanza Beri peringkatBagikan ini Terkait BurungCintaMalam StanzaNormantisPuisiPuisi Filosofi dan FilsafatPuisi KematianPuisi MiniPuisi NormantisPuisi PendekPuisi WS RendraRenunganStanza dan BluesWaktuWS Rendra BERANI NONTON VIDEO NORMANTIS? KLIK AJA!KARYA TERBARU Mau dapat update Puisi Normantis tiap hari? Bergabung dengan pelanggan lain 1 Comment on Waktu â Puisi WS Rendra Apa Pesan dari puisi ini?? SukaSuka Komentar Norman Adi Satria Remy Sylado Budi Lengket Joko Pinurbo Ajip Rosidi Sapardi Djoko Damono WS Rendra Gus Mus Dewi Dee Lestari Seno Gumira Ajidarma Jalaluddin Rumi Sujiwo Tejo Soe Hok Gie Djenar Maesa Ayu Bambang Trim Wiji Thukul Goenawan Mohamad Pramoedya Ananta Toer Chairil Anwar Kahlil Gibran Nyi Galuh Plato Socrates Mohammad Yamin Asrul Sani Emha Ainun Nadjib Cak Nun Tatengkeng Sanusi Panerimakruciene - puisi karya ws rendraApakah ada yang belum pernah tahu, membaca, atau mendengar puisi karya W. S Rendra? Ya, siapa yang tak tahu dengan penyair kenamaan Indonesia yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto ini? Dalam dunia sastra, di Indonesia sendiri telah lahir banyak sastrawan terkemuka yang melegenda. Nama-namanya pun telah mendunia dan dapat menginspirasi bagi siapapun yang membaca dan merenungi puisi-puisinya. Salah satunya, ialah Rendra. Melihat nama Rendra saja, Anda pasti sudah tahu sosok penyair ini, karena beberapa puisi karya Rendra memang begitu dikenal sebagai penyair paling kaya di Indonesia. Tak heran, karena ia sangat produktif dalam menciptakan dan memanfaatkan metafora-metafora untuk mendukung citraan dramatik dan visual dalam shkazemiPuisi Rendra Paling PopulerJika Anda ingin tahu beberapa puisi karya W. S Rendra yang sangat populer, Anda bisa mengeceknya dengan membaca buku Puisi-puisi Cinta, Bentang Pustaka, Rendra. Terdapat 30 judul puisi cinta dalam buku tersebut. Puisi-puisi cinta tersebut ia bagi ke dalam tiga masa, yakni Puber Pertama 1954-1958 yang ia tulis pada masa kuliahnya di Universitas Gadjah Mada. Puber Kedua 1968-1977, yaitu puisi-puisi yang ditulis selepas ia kuliah di New York. TerakhirPuber Ketiga 1992-2003, berisi puisi-puisi yang ditulisnya dalam masa reformasi malam kembali membenamgugurlah semua yang bersamanyadi atas tempatmu terkuburgugurlah segala hal ikhwal antara kita ikhlaskan sajatiada janji kan jumpa di sorgakarena di sorga tiada kita kan perlu cuma lahir di bumidi mana segala berujung di tanah matiia mengikuti hidup manusiadan kalau hidup sendiri telah gugurgugur pula ia bersama tertinggal sedikit kenangantapi semata tiada lebih dari penipuanatau semacam pencegah bunuh ada pula kesedihanitu baginya semacam harga atau kehormatanyang sebentar akan pula asmara, embun di bunga âyang kita ambil cuma yang Puber Pertama terdapat 24 puisi kara W. S Rendra yang berisi tentang kisah percintaan remaja yang apa adanya. Manis dan romantis sekali. Puisi-puisi tersebut disajikan dalam bentuk pendek, ringan, dan sederhana, tetapi sangat menunjukkan perasaan orang yang sedang dilanda cinta. DNR
kajiankritik sosial puisi "Sajak Orang Kepanasan" Karya WS Rendra Karya sastra di Indonesia telah mengalami beberapa perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga melahirkan karya sastra berdasarkan penggolongan angkatan karya sastra, seperti balai pustaka, pujangga baru dan lainnya. Pradopo (2005: 4) menyatakan bahwa ciri-ciri intrinsik
Puisi WS Rendra - Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra adalah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia yang lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun. Sejak masih muda beliau sudah sering menulis puisi, skenario drama, menulis cerpen, dan esai sastra di media massa. Beliau adalah penyair ternama yang kerap dijuluki dengan sebutan "Burung Merak". Rendra juga orang yang telah mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan telah melahirkan banyak seniman terkenal. Seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi dan lain-lain. Namun Bengkel Teater itu akhirnya kocar kacir karena tekanan politik dan Rendra memindahkannya ke Depok pada tahun 1985. Nah, bagi kalian yang sedang mencari puisi karya WS Rendra yang melegenda. Kami sudah menyiapkan 41 kumpulan puisi lengkap yang bisa kalian serap makna disetiap baitnya yang dalam. Berikut Puisi Karya WS Rendra. Baca Juga 150 Kumpulan Puisi Cinta Romantis, Sedih, Rindu, Galau Terbaik 76+ Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar 33 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail yang Melegenda 39+ Kumpulan Puisi Karya Kahlil Gibran 31 Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono Source Google Images Puisi 1 Hai, Ma! Rendra Jakarta, Juli 1992 Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya ada malam-malam aku menjalani lorong panjang hawa dingin masuk kebadanku yang hampa bintang-bintang menjadi kunang-kunang yang lebih menekankan kehadiran kegelapan tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga atau aku terlantar di pasar aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita aku marah, aku takut, aku gemetar namun gagal menyusun bahasa tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana membuat hidupku tak ada harganya kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari mulut berbusa sekadar karena tertawa hidup cemar oleh basa basi dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan atau percintaan tanpa asmara dan sanggama yang tidak selesai Hidup memang fana tentu saja, Ma tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola mengacaukan isi perutku lalu mendorong aku menjeri-jerit rasanya setelah mati berulang kali Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku Kelenjar-kelenjarku bekerja sukmaku bernyanyi, dunia hadir tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya hidup menjadi nyata, fitrahku kembali Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma? masing-masing pihak punya cita-cita masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata aku peluk kamu di atas perahu ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu dengan ciuman-ciuman di lehermu? Masyaallah..aku selalu kesengsem pada bau kulitmu Ingatkah waktu itu aku berkata kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna Hehehe waahh..aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini dan apabila aku menulis sajak aku juga merasa bahwa kemaren dan esok Bencana dan keberuntungan sama saja Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa Puisi 2 Maskumambang Rendra Cipayung Jaya, 4 April 2006 Kabut fajar menyusut dengan perlahan. Zaman macam apa, peradaban macam apa, yang akan kami wariskan kepada kalian! Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang. Kami adalah angkatan pongah. Kami tidak mampu membuat rencana Karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu, untuk membaca tata buku masa kini, hanyalah spekulasi keinginan Negara terlanda gelombang zaman edan. Cita-cita kebajikan terhempas waktu, Tetapi aku keras bertahan mendekap akal sehat dan suara jiwa, biarpun tercampak di selokan zaman. Bangsa kita kini seperti dadu terperangkap di dalam kaleng utang, yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa, tanpa kita berdaya melawannya. Semuanya terjadi atas nama pembangungan, yang mencontoh tatanan pembangunan juga mencontoh tatanan penjajahan. Menyebabkan rakyat dan hukum hanyalah pemerintah dan partai politik. O, martabat bangsa yang kini compang-camping! Kekuasaan kekerasan merajalela. Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar. Semua atas nama takhayul pembangunan. Atas nama semangat agama yang berkobar. Apabila agama menjadi lencana politik, maka erosi agama pasti terjadi! Karena politik tidak punya kepala. Tidak punya telinga. Tidak punya hati. Politik hanya mengenal kalah dan menang. Meskipun hidup berbangsa perlu politik, tetapi politik tidak boleh menjamah dalam kewajaran hidup bersama di dunia, harus menjaga daulat hukum alam, dan daulat hukum akal sehat. Matahari yang merayap naik dari ufuk timur telah melampaui pohon jinjing. Udara yang ramah menyapa tubuhku. Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur. Berdengung sepasang kumbang yang bersenggama di udara. Mas Willy! istriku datang menyapaku. Ia melihat pipiku basah oleh air mata. Aku bangkit hendak berkata. Sssh, diam! bisik istriku, Jangan menangis. Tulis sajak. Puisi 3 Sajak Sajak Cinta Setiap ruang yang tertutup akan retak karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi Dan akhirnya akan meledak bila tenaga waktu terus terhadang Cintaku kepadamu Juwitaku Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada Cintaku kepadamu Juwitaku Kemudian meruang dan mewaktu dalam hidupku yang sekedar insan Ruang cinta aku berdayakan tapi waktunya lepas dari jangkauan usia cinta lebih panjang dari usia percintaan Khazanah budaya percintaan pacaran, perpisahan, perkawinan tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu lepas dari kamus, lepas dari sejarah, lepas dari daya korupsi manusia Demikianlah maka syairku ini berani mewakili cintaku kepadamu belum pernah aku puas menciumi kamu Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut, gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi Kamu sulit menghadapi diri sendiri Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu Lepas dari kotak-kotak analisa cintaku kepadamu ternyata ada Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu Cintaku kepadamu telah mewaktu Syair ini juga akan mewaktu Yang jelas usianya akan lebih panjang Puisi 4 Sajak Sebatang Lisong Rendra ITB Bandung 19 agustus 1978 menghisap sebatang lisong mendengar 130 juta rakyat dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka dan aku melihat delapan juta kanak kanak tetapi pertanyaan pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan menghadapi satu jalan panjang tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungny aku melihat sarjana sarjana menganggur aku melihat wanita bunting bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti dibangun disesuaikan dengan teknologi yang diimpor langit pesta warna di dalam senjakala protes protes yang terpendam membentur jidat penyair penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidak adilan terjadi disampingnya dan delapan juta kanak kanak tanpa pendidikan termangu mangu di kaki dewi kesenian bunga bunga bangsa tahun depan berkunang kunang pandang matanya di bawah iklan berlampu neon berjuta juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau menjadi karang di bawah muka samodra kita mesti berhenti membeli rumus rumus asing diktat diktat hanya boleh memberi metode tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan kita mesti keluar ke jalan raya mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata bila terpisah dari derita lingkungan bila terpisah dari masalah kehidupan Puisi 5 Sajak Orang Lapar Rendra kelaparan adalah burung gagak jutaan burung-burung gagak dan kelaparan adalah burung gagak kelaparan adalah pemberontakan dari pisau-pisau pembunuhan yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin kelaparan adalah batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur adalah pengkhianatan kehormatan seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu melihat bagaimana tangannya sendiri meletakkan kehormatannya di tanah kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran kelaparan adalah tangan-tangan hitam yang memasukkan segenggam tawas ke dalam perut para miskin perut Mu menggenggam tawas dan pecahan-pecahan gelas kaca betapa indahnya sepiring nasi panas semangkuk sop dan segelas kopi hitam kelaparan adalah burung gagak Puisi 6 Sajak Rajawali Rendra tidak bisa mengubah rajawali menjadi seekor burung nuri rajawali adalah pacar langit dan di dalam sangkar besi bahwa langit akan selalu menanti adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma tujuh langit, tujuh rajawali tujuh cakrawala, tujuh pengembara rajawali terbang tinggi memasuki sepi hidup adalah merjan-merjan kemungkinan yang terjadi dari keringat matahari tanpa kemantapan hati rajawali mata kita hanya melihat matamorgana membela langit dengan setia dan ia akan mematuk kedua matamu wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka. Puisi 7 Sajak Pertemuan Mahasiswa Rendra Jakarta, 1 desember 1977 mencium bau kencing orok di kaki langit melihat kali coklat menjalar ke lautan dan mendengar dengung di dalam hutan lalu kini ia dua penggalah tingginya dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini kenapa maksud baik tidak selalu berguna kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga orang berkata kami ada maksud baik dan kita bertanya maksud baik untuk siapa ? ada yang jaya, ada yang terhina ada yang bersenjata, ada yang terluka ada yang duduk, ada yang diduduki ada yang berlimpah, ada yang terkuras dan kita disini bertanya maksud baik saudara untuk siapa ? saudara berdiri di pihak yang mana ? kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya tanah tanah di gunung telah dimiliki orang orang kota hanya menguntungkan segolongan kecil saja alat alat kemajuan yang diimpor tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya lantas maksud baik saudara untuk siapa ? sekarang matahari semakin tinggi lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya kita ini dididik untuk memihak yang mana ? ilmu ilmu diajarkan disini akan menjadi alat pembebasan ataukah alat penindasan ? sebentar lagi matahari akan tenggelam cicak cicak berbunyi di tembok tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda akan hidup di dalam mimpi akan tumbuh di kebon belakang matahari akan terbit kembali sementara hari baru menjelma pertanyaan pertanyaan kita menjadi hutan di bawah matahari ini kita bertanya ada yang menangis, ada yang mendera ada yang habis, ada yang mengikis berdiri di pihak yang mana ! Puisi 8 Surat Cinta Rendra bagai bunyi tambur yang gaib, serta menggetarkan bulu-bulunya, kupinang kau menjadi istriku ! Kaki-kaki hujan yang runcing menyentuhkan ujungnya di bumi, Kaki-kaki cinta yang tegas bagai logam berat gemerlapan dan tak kan kunjung diundurkan mereka berkaca dan mencuci rambutnya dengan pakaian pengantin yang anggun bunga-bunga serta keris keramat aku ingin membimbingmu ke altar penyair dari kehidupan sehari-hari, orang yang bermula dari kata kehidupan, pikir dan rasa Semangat kehidupan yang kuat bagai berjuta-juta jarum alit kantong rejeki dan restu wingit Semangat cintaku yang kuta batgai seribu tangan gaib menyebarkan seribu jaring yang selalu tersenyum padaku Engkau adalah putri duyung dengan ratapnya yang merdu. Engkau adalah putri duyung mengejap-ngejapkan matanya yang indah bersenda gurau dalam selokan dan langit iri melihatnya menjadi ibu anak-anakku ! Puisi 9 Rumpun Alang-alang Rendra Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal tapi alang-alang tumbuh di dada. Puisi 10 Makna Sebuah Titipan Rendra Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya, tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, Seolah semua derita adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku, Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah. ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja. Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya, tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku inglebih banyak harta, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiski1 Seolah semua derita adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika aku rajberibadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku, Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah. ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja. Puisi 11 Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia Rendra DPR 18 Mei 1998 Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan Amarah merajalela tanpa alamat Kelakuan muncul dari sampah kehidupan Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah O, malam kelam pikiran insan! Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan Kitab undang-undang tergeletak di selokan Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan O, tatawarna fatamorgana kekuasaan! O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja! Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan! O, rasa putus asa yang terbentur sangkur! Berhentilah mencari Ratu Adil! Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya! Apa yang harus kita tegakkan bersama Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya Wahai, penguasa dunia yang fana! Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta! Apakah masih buta dan tuli di dalam hati? Apakah masih akan menipu diri sendiri? Apabila saran akal sehat kamu remehkan berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap yang akan muncul dari sudut-sudut gelap Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi Airmata mengalir dari sajakku ini. Puisi 12 Perempuan yang Tergusur Rendra Cipayung Jaya, 3 Desember 2003 Hujan lebat turun di hulu subuh yang lalu tersangkut di ranting pohon mendengar hujan menghajar dinding Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi dan lalu terbayanglah wajahmu, wahai perempupan yang tergusur! ibumu mati ketika kamu bayi dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu. Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa. Umur enam belas kamu dibawa ke kota oleh sopir taxi yang mengawinimu. ia menambah penghasilan sebagai germo. Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya. Bila kamu ragu dan murung, lalu kurang setoran kamu berikan, ia memukul kamu babak belur. Tapi kemudian ia mati ditembak tentara ketika ikut demontrasi politik sebagai demonstran bayaran. Sebagai janda yang pelacur kamu tinggal di gubuk tepi kali Gubernur dan para anggota DPRD menggolongkanmu sebagai tikus got yang mengganggu peradaban. Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada. Didalam hujuan lebat pagi ini apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan sambhil memeluk kantong plastik yang berisi sisa hartamu? Ataukah berteduh di bawah jembatan? bagai tata rias yang luntur oleh hujan Kamu adalah korban tenung keadaan. Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya yang tak mungkin kamu seberangi. Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu. Tetapi aku memihak kepadamu. Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin Waktu berjalan satu arah saja. Tetapi ia bukan garis lurus. Ia penuh kelokan yang mengejutkan, gunung dan jurang yang mengecilkan hati, Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya puncak penderitaan yang menyakitkan hati, atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah, selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah, ialah kedudukan kaum terhina. Tapi aku kagum pada daya tahanmu, pada caramu menikmati setiap kesempatan, pada kemampuanmu berdamai dengan dunia, pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri, dan caramu merawat selimut dengan hati-hati. Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana semak yang berduri bisa juga berbunga. karena melihat ada kelucuan di dalam ironi, diam-diam aku memuja kamu di hati ini. Puisi 13 Kangen Rendra Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta kau tak akan mengerti segala lukaku kerna luka telah sembunyikan pisaunya. Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi pada kejemuan disandarkan dirinya. Jalanan berdebu tak berhati Batang baja waktu lengang Puisi 14 Orang Orang Miskin Rendra Yogya, 4 Pebruari 1978 Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Bila kamu remehkan mereka, di jalan kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur malammu. Perempuan-perempuan bunga raya Tangan-tangan kotor dari jalanan meraba-raba kaca jendelamu. Mereka tak bisa kamu biarkan. Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol. Mereka akan menjadi pertanyaan yang mencegat ideologimu. akan meringis di muka agamamu. Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap akan hinggap di gorden presidenan dan buku programma gedung kesenian. Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, bagai udara panas yang selalu ada, bagai gerimis yang selalu membayang. Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau atau ke dada mereka sendiri. juga berasal dari kemah Ibrahim Puisi 15 Aku Tulis Pamplet Ini Rendra Pejambon Jakarta 27 April 1978 karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan Apa yang terpegang hari ini Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki menjadi isi kebon binatang Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak mengandung perdebatan Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan karena pamplet bukan tabu bagi penyair Aku inginkan merpati pos. Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian. kenapa harus diam tertekan dan termangu. Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar. Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju. Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan. Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka. Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api. Rembulan memberi mimpi pada dendam. Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah yang teronggok bagai sampah karena kawan dan lawan adalah saudara Di dalam alam masih ada cahaya. Matahari yang tenggelam diganti rembulan. Lalu besok pagi pasti terbit kembali. Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca ternyata kita, toh, manusia ! Puisi 16 Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang Rendra Mimbar Indonesia 18 Juni 1960. WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara perkenankan aku menusukkan sangkurku -biarpun bersama penyesalan- oleh bibirku yang terjajah ? Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku menusukkan sangkurku Puisi 17 Gerilya Rendra Siasat Th IX, No. 42 1955 lelaki berguling di jalan terkecap pahitnya tembakau bendungan keluh dan bencana Dengan tujuh lubang pelor Gadis berjalan di subuh merah dengan sayur-mayur di punggung Orang-orang kampung mengenalnya anak janda berambut ombak ditimba air bergantang-gantang Lewat gardu Belanda dengan berani Puisi 18 Gugur Rendra di atas bumi yang dicintainya Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya Ke dada musuh yang merebut kotanya di atas bumi yang dicintainya susah payah maut menjeratnya menatap musuh pergi dari kotanya Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya menuju kota kesayangannya di atas bumi yang dicintainya Ketika anaknya memegang tangannya kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta Kerna kita punya bumi kecintaan. Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan. Bumi kita adalah juwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang. Bumi berpeluh dan terbakar Kerna api menyala di kota Ambarawa Orang tua itu kembali berkata Lihatlah, hari telah fajar ! kita akan berpelukan buat selama-lamanya ! di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih -Alangkah gemburnya tanah di sini! Puisi 19 Lagu Seorang Gerilya Rendra Jakarta, 2 september 1977 Engkau melayang jauh, kekasihku. Engkau mandi cahaya matahari. menyandang senapan, berbendera pusaka. Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, engkau berkudung selendang katun di kepalamu. Engkau menjadi suatu keindahan, resimen tank penindas terdengar menderu. Malam bermandi cahaya matahari, kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu dan darah muncrat dari dadaku. kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur di dalam berjuang membela rakyat jelata Puisi 20 Lagu Serdadu Rendra Siasat No. 630, th. 13 November 1959. Kami masuk serdadu dan dapat senapang ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang Yoho, darah kami campur arak! Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali Wahai, tanah yang baik untuk mati Dan kalau ku telentang dengan pelor timah cukilah ia bagi puteraku di rumah Puisi 21 Mazmur Mawar Rendra Dirgahayu6 Karya Wiyata 83 Tahun XX Juli-Agustus 1997. Kita muliakan dengan segenap mawar Kita muliakan Tuhan yang manis, indah, dan penuh kasih sayang Tuhan adalah serdadu yang tertembak Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana dengan baju compang-camping membelai kepala kanak-kanak yang lapar. Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk Dengan pandangan arif dan bijak membelai kepala para pelacur Tuhan berada di gang-gang gelap Bersama para pencuri, para perampok Tuhan adalah teman sekamar para penjinah adalah cacing bagi bebek dan babi Wajah Tuhan yang manis adalah meja pejudian yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu Tuhan sebagai orang tua renta tidur melengkung di trotoar batuk-batuk karena malam yang dingin dan tangannya menekan perutnya yang lapar Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma, Wahai, ia adalah teman kita yang akrab! Ia adalah teman kita semua para musuh polisi, Para perampok, pembunuh, penjudi, pelacur, penganggur, dan peminta-minta Marilah kita datang kepada-Nya kita tolong teman kita yang tua dan baik hati. Puisi 22 Pamplet Cinta Rendra Pejambon, Jakarta, 28 April 1978 Ma, nyamperin matahari dari satu sisi. Memandang wajahmu dari segenap jurusan. Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan. Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku. dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa. Kampus telah diserbu mobil berlapis baja. Kata-kata telah dilawan dengan senjata. Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini. Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat. Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan Suatu malam aku mandi di lautan. Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit. Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada. Apa yang bisa dilakukan oleh penyair bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ? Tegur sapa tanpa jaminan. Air lautan berkilat-kilat. Suara lautan adalah suara kesepian. Sebenarnya apakah harapan ? Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu. Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak. Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu. Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi. Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur. Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung. Perutku sobek di jalan raya yang lengangÂÂ. Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian. Aku menulis sajak di bordes kereta api. Aku bertualang di dalam udara yang berdebu. Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar, aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu. nongol dari perut matahari bunting, jam duabelas seperempat siang. Aku disergap kejadian tak terduga. tapi juga menggigil bertanya-tanya. Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih. Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku, dan sedih karena kita sering berpisah. Ketegangan menjadi pupuk cinta kita. Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ? Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak. Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang. Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan. Ma, nyamperin matahari dari satu sisi, memandang wajahmu dari segenap jurusan. Puisi 23 Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya Rendra Sajak-sajak sepatu tua,1972. Sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang dan dengan lega akan kita lunaskan. dan terasing dengan nasib kita Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. Suka duka kita bukanlah istimewa kerna setiap orang mengalaminya. Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup memasuki rahasia langit dan samodra, serta mencipta dan mengukir dunia. kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. Tetapi demi kehormatan seorang manusia. Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu. dan harga kita adalah kehormatan kita. Tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya. Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda. bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita. Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma. Kita menjadi goyah dan bongkok kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan. Sementara kaukenangkan encokmu bahwa kita ditantang seratus dewa. Puisi 24 Puisi Doa Di Jakarta melihat hidup yang tergadai, fikiran yang dipabrikkan, dan masyarakat yang diternakkan. Malam rebah dalam udara yang kotor. Di manakah harapan akan dikaitkan bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan? Dendam diasah di kolong yang basah siap untuk terseret dalam gelombang edan. Perkelahian dalam hidup sehari-hari tak akan menyelesaikan masalah terpenjara, tanpa jendela. yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh, sebuah halaman bertaman tanaman hias dengan rumah-rumah tanpa sumur dan Hati manusia telah menjadi acuh, ketika air mata menjadi gombal, dan kata-kata menjadi lumpur becek, aku menoleh ke utara dan ke selatan Di manakah tabungan keramik untuk wang logam? Di manakah catatan belanja harian? Ya, Tuhan yang Maha Hakim, harapan kosong, optimisme hampa. Hanya akal sihat dan daya hidup menjadi peganganku yang nyata. Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali Kebaikanmu yang banyak ini Sungguh di sisi-Nya masih sedikit Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu. Puisi 25 Sajak SLA Rendra Yogya, 22 Juni 1977 Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya Karena tidak ada patokan untuk apa saja. Semua boleh. Semua tidak boleh. Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja. Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata. Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang. Ibu guru ingin hiburan dan cahaya. Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor. Dan juga ingin jaminan pil penenang, tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter. Kepada orang tua murid-muridnya Kita bisa mengubah keadaan. Anak-anak akan lulus ujian kelasnya, terpandang di antara tetangga, boleh dibanggakan pada kakak mereka. Soalnya adalah kerjasama antara kita. Jangan sampai kerjaku terganggu, Dan papa-papa semua senang. Di pegang-pegang tangan ibu guru, dimasukan uang ke dalam genggaman, di dalam suasana persahabatan, teteknya disinggung dengan siku. Demikianlah murid-murid mengintip semua ini. Inilah ajaran tentang perundingan, perdamaian, dan santainya kehidupan. Kemajuan akan berjalan dengan lancar. Kita harus menguasai mesin industri. Kita harus maju seperti Jerman, Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma. dan mengeluarkan rokok mereka. Karena mengingat kesopanan, Kelas adalah ruangbelajar. Dan sekarang daftar logaritma ! Murid-murid tertawa dan berkata Kami tidak suka daftar logaritma. kalian tidak ingin maju ? Kemajuan bukan soal logaritma. Kemajuan adalah soal perundingan. Jadi apa yang kaian inginkan ? Kami tidak ingin apa-apa. Kami sudah punya semuanya. Kami merokok dengan santai. Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka menciptakan suasana girang. Mereka menguasai perundingan. Pandai mengikuti keadaan. menghindari ulangan sejarah. Mereka tertidur di bangku kelas, yang telah mereka bayar sama mahal seperti sewa kamar di hotel. Sekolah adalah pergaulan, yang ditentukan oleh mode, dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan. Dan bila ibu guru berkata Keluarkan daftar logaritma ! Dan di dalam suasana persahabatan, mereka mengobel ibu guru mereka. Puisi 26 Sajak Joki Tobing untuk Widuri Rendra Jakarta, 9 Mei 1977 Dengan latar belakang gubug-gubug karton, aku terkenang akan wajahmu. di atas padang pengangguran. wajah-wajah nelayan keruh, lalu muncullah rambutmu yang berkibaran Kemiskinan dan kelaparan, membangkitkan keangkuhanku. menjadi pelangi di cakrawalaku. Puisi 27 Sajak Seorang Tua Untuk Anaknya Rendra Sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang dan dengan lega akan kita lunaskan. dan terasing dengan nasib kita Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. Suka duka kita bukanlah istimewa kerna setiap orang mengalaminya. Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup memasuki rahasia langit dan samodra, serta mencipta dan mengukir dunia. kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. Tetapi demi kehormatan seorang manusia. Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu. dan harga kita adalah kehormatan kita. Tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya. Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda. bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita. Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma. Kita menjadi goyah dan bongkok kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan. Sementara kaukenangkan encokmu bahwa kita ditantang seratus dewa. Puisi 28 Sajak Peperangan Abimanyu Rendra Jakarta, 2 September 1977 Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru. Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya. di dalam dadanya yang bedah dan berdarah, menjalani kewjiban dan kewajarannya. apakah petani-petani akan tetap menderita, tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ? Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup. Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka. nyanyian angin dan air yang turun dari gunung. Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa. Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan. Di saat badan berlumur darah, jiwa duduk di atas teratai. dan mengurap rambut mereka dengan debu, roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas Puisi 29 Sajak Seonggok Jagung Rendra Tim, 12 Juli 1975 sang pemuda melihat ladang; para wanita dengan gendongan dan seorang pemuda tamat SLA Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. dan ia melihat dirinya terlunta-lunta . Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik. Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase. Ia melihat saingannya naik sepeda motor. Ia melihat nomor-nomor lotre. Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal. tidak menyangkut pada akal, tak akan menolong seorang pemuda yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan tidak dari kehidupan. Yang tidak terlatih dalam metode, dan hanya penuh hafalan kesimpulan, yang hanya terlatih sebagai pemakai, tetapi kurang latihan bebas berkarya. Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan. Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya ? Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya ? belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata Di sini aku merasa asing dan sepi ! Puisi 30 Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon Rendra Pejambon, 23 Oktober 1977 seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas, dengan kedua tangan kugendong di belakang, dan rokok kretek yang padam di mulutku. Aku melihat gambaran ekonomi di etalase toko yang penuh merk asing, dan jalan-jalan bobrok antar desa yang tidak memungkinkan pergaulan. Aku melihat penggarongan dan pembusukan. Aku meludah di atas tanah. Aku berdiri di muka kantor polisi. Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran. Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang. Dan sebatang jalan panjang, penuh kucing-kucing liar, penuh anak-anak berkudis, penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan. Aku berjalan menempuh matahari, menyusuri jalan sejarah pembangunan, yang kotor dan penuh penipuan. Aku mendengar orang berkata Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana. Di sini, demi iklim pembangunan yang baik, kemerdekaan berpolitik harus dibatasi. meminta pengorbanan sedikit hak asasi Astaga, tahi kerbo apa ini ! Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ? Di negeri ini hak asasi dikurangi, justru untuk membela yang mapan dan kaya. Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa, O, kepalsuan yang diberhalakan, berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan. Aku mendengar bising kendaraan. Aku mendengar pengadilan sandiwara. Aku mendengar warta berita. Ada gerilya kota merajalela di Eropa. Seorang cukong bekas kaki tangan fasis, seorang yang gigih, melawan buruh, telah diculik dan dibunuh, oleh golongan orang-orang yang marah. Aku menatap senjakala di pelabuhan. dan rokok di mulutku padam lagi. Aku melihat darah di langit. Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang. Yang kuasa serba menekan. Yang marah mulai mengeluarkan senjata. Bajingan dilawan secara bajingan. Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang. Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi, maka bajingan jalanan yang akan diadili. Lalu apa kata nurani kemanusiaan ? Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ? Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ? Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ? Apakah kata nurani kemanusiaan ? O, Senjakala yang menyala ! Singkat tapi menggetarkan hati ! Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang ! O, gambaran-gambaran yang fana ! Kerna langit di badan yang tidak berhawa, dan langit di luar dilabur bias senjakala, maka nurani dibius tipudaya. Ya ! Ya ! Akulah seorang tua ! Yang capek tapi belum menyerah pada mati. Kini aku berdiri di perempatan jalan. Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing. Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak. Puisi 31 Sajak Gadis dan Majikan Rendra Yogya, 10 Juli 1975 Janganlah tuan seenaknya memelukku. Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu. AkuÂ0â2 bukan ahli ilmu menduga, tetapi jelas sudah kutahu pelukan ini apa artinyaÂ.. Siallah pendidikan yang aku terima. Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, bila dipeluk majikan dari belakang, Janganlah tuan seenaknya memelukku. Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu. Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu, sudah kutahu apa artinya Mereka ajarkan aku membenci dosa tetapi lupa mereka ajarkan Mereka ajarkan aku gaya hidup yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan. Diajarkan aku membutuhkan peralatan yang dihasilkan majikan, dan dikuasai para majikan. Alat-alat rias, mesin pendingin, vitamin sintetis, tonikum, segala macam soda, dan ijazah sekolah. Pendidikan membuatku terikat pada pasar mereka, pada modal mereka. Dan kini, setelah aku dewasa. Kemana lagi aku kan lari, bila tidak ke dunia majikan ? Jangnlah tuan seenaknya memelukku. Jangan seenaknya memelukku. Uang yang tuan selipkan ke behaku adalah ijazah pendidikanku Dengan yakin tuan memelukku. Seluruh anggota masyarakat membantu tuan. Mereka pegang kedua kakiku. Mereka tarik pahaku mengangkang. Sementara tuan naik ke atas tubuhku. Puisi 32 Sajak Potret Keluarga Rendra Yogya, 10 Juli 1975. Tanggal lima belas tahun rembulan. Wajah molek bersolek di angkasa. Kemarau dingin jalan berdebu. Ular yang lewat dipagut naga. Burung tekukur terpisah dari sarangnya. Kepada rekannya berkatalah suami itu Semuanya akan beres. Pasti beres. Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya. Itulah namanya kehidupan. Apa yang kita punya sudah lumayan. Asal keluarga sudah terjaga, rumah dan mobil juga ada, apa palgi yang diruwetkan ? Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan. Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa. Di rumah ada TV, anggrek, air conditioning, dan juga agama. Inilah kesejahteraan yang harus dibina. Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran. Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan. Salah-salah malah hilang jabatan. Tanggal lima belas tahun rembulan Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang. Malam disambut suara halus dalam rumputan. Anjing menjenguk keranjang sampah. Kucing berjalan di bubungan atap. Dan ketonggeng menunggu di bawah batu. Isri itu duduk di muka kaca dan berkata Hari-hari mengalir seperti sungai arak. Tak ada yang jelas di dalam kehidupan. Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan. Tak ada yang bisa diambil pegangan. Suamiku asyik dengan mobilnya padahal hidupnya penuh utang. Semakin kaya semakin banyak pula utangnya. Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar. Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku. Apakah jaminan pendidikannya ? Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana, Tetapi kini serba tidak kebenaran. Setiap barang membuatnya berengsek. Padahal harganya mahal semua. Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan. Sementara TV-nya membuat kegaduhan. Tak ada lagi yang bisa menghiburnya. Gampang pula kambuh bludreknya Makanan dengan cermat dijaga Akulah yang selalu kena luapan. Ia marah karena tak berdaya. Ia menyembunyikan kegagalam. Ia hanyut di dalam kemajuan zaman. Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya ! Tanggal lima belas tahun rembulan. Tujuh unggas tidur di pohon nangka Sedang di tanah ular mencari mangsa. Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan. Di tebing yang landai tidurlah buaya. Di antara batu-batu dua ketam bersenggama. Sang Putri yang di SLA, berkata Kawinilah aku. Buat aku mengandung. Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu. Aku membenci duniaku ini. Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah. Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah. Suasana tegang di dalam rumah meskipun rapi perabotannya. Aku yakin keluargaku mencintaiku. Tetapi semuanya ini untuk apa ? Untuk apa hidup keluargaku ini ? Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ? Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ? Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ? Tiga belas tahun aku belajar di sekolah. Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri. Untuk apakah kehidupan kami ini ? Untuk makan ? Untuk baca komik ? Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa ! Kemacetan mencengkeram hidup kami. Kakasihku, temanilah aku merampok Bank. Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku Tanggal lima belas tahun rembulan. Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan. Akar bambu bercahaya pospor. Keleawar terbang menyambar-nyambar. Seekor kadal menangkap belalang. Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya Ayah dan ibu yang terhormat, aku pergi meninggalkan rumah ini. Cinta kasih cukup aku dapatkan. Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu. Ya, aku menolak untuk mendewakan harta. Aku menolak untuk mengejar kemewahan, tetapi kehilangan kesejahteraan. Bahkan kemewahan yang ayah punya tidak juga berarti kemakmuran. Ayah berkata santai, santai ! tetapi sebenarnya ayah hanyut dibawa arus jorok keadaan tetapi tidak punya kehormatan. Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini? Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ? Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ? Seorang petani lebih produktip daripada ayah. Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata. Ayah hanya bisa membuat peraturan. Ayah hanya bisa tunduk pada atasan. Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa. Ayah tidak produktip melainkan destruktip. Namun toh ayah mendapat gaji besar ! Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ? Terlalu beresiko, bukan ? Apakah aku harus mencontoh ayah ? Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku. Ayah dan ibu, selamat tinggal. Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. Puisi 33 Sajak Sebotol Bir Rendra Pejambon, 23 Juni 1977 dan melihat orang-orang kelaparan. dan mendengar derap huru-hara. Hiburan kota besar dalam semalam, sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa ! Peradaban apakah yang kita pertahankan ? Mengapa kita membangun kota metropolitan ? dan alpa terhadap peradaban di desa ? Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan, dan tidak kepada pengedaran ? Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri, Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam Kota metropolitan di sini, adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika, Australia, dan negara industri lainnya. Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ? Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ? Menjadi selokan atau kubangan. Jalanlalu lintas masa kini, mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu, adalah alat penyaluran barang-barang asing dari pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan. Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus, tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong. Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai. Di mana kita hanya mampu berak dan makan, tanpa ada daya untuk menciptakan. Apakah kita akan berhenti saampai di sini ? Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ? Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik yang tidak berhenti-hentinya menghasilkanÂÂ.. harus senantiasa menghasilkanÂ. Dan akhirnya memaksa negara lain untuk menjadi pasaran barang-barang kita ? Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ? Apakah pemikiran ekonomi kita hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ? Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ? Apakah kita akan hanyut saja di dalam kekuatan penumpukan yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ? Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. di tanah leluhur sendiri. Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi, dan menghamba ke Jakarta. Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi dan menghamba kepada Jepang, Eropa, atau Amerika. Puisi 34 Sajak Tangan Rendra TIM, 3 Juli 1977 Inilah tangan seorang mahasiswa, yang terpegang anderox hostes berumbai, Aku bego. Tanganku lunglai. Di balik pintu ada lagi pintu. Aku masukkan tangan-tanganku ke celana dan aku keluar mengembara. Aku ditelan Indonesia Raya. Tangan di dalam kehidupan Nampak asing di antara tangan beribu. Aku bimbang akan masa depanku. Tangan petani yang berlumpur, tangan nelayan yang bergaram, aku jabat dalam tanganku. Tangan mereka penuh pergulatan Tangan-tangan yang menghasilkan. tidak memecahkan persoalan. gemuk, luwes, dan sangat kuat. Tanganku yang gamang dicurigai, Ketika terbuka menjadi cakar. Aku meraih ke arah delapan penjuru. bercokol tentara atau orang tua. para petani hanya buruh tuan tanah. para nelayan tidak punya kapal. Perdagangan berjalan tanpa swadaya. Politik hanya mengabdi pada cuacaÂ.. Tetapi tembok batu didepanku. Hidupku tanpa masa depan. Kini aku kantongi tanganku. Aku akan menulis kata-kata kotor Puisi 35 Sajak Mata-mata Rendra Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978 Ada suara bising di bawah tanah. Ada suara gaduh di atas tanah. Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah. Ada tangis tak menentu di tengah sawah. Dan, lho, ini di belakang saya Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu. Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar. Aku melihat isyarat-isyarat. Semua tidak jelas maknanya. Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara, Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu. Pendengaran dan penglihatan Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi terjadi tanpa kutahu telah terjadi. Aku tak tahu. Kamu tak tahu. kalau koran-koran ditekan sensor, dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol. Koran-koran adalah penerusan mata kita. Kini sudah diganti mata yang resmi. Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam. Kita hanya diberi gambara model keadaan yang sudah dijahit oleh penjahit resmi. Mata rakyat sudah dicabut. Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk. Mata pemerintah juga diancam bencana. Mata pemerintah memakai kacamata hitam. Terasing di belakang meja kekuasaan. Mata pemerintah yang sejati Barisan mata-mata mahal biayanya. mirp pandangan mata kuda kereta yang dibatasi tudung mata. Dalam pandangan yang kabur, Rakyat marah, pemerinta marah, semua marah lantara tidak punya mata. Semua mata sudah disabotir. Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata. Puisi 36 Sajak Kenalan Lamamu Rendra Yogyakarta, 21 Juni 1977 Kini kita saling berpandangan saudara. kita memang pernah berjumpa. Sambil berdiri di ambang pintu kereta api, tergencet oleh penumpang berjubel, aku melihat kamu tidur di kolong bangku, dengan alas kertas koran, sambil memeluk satu anakmu, sementara istrimu meneteki bayinya, Pernah pula kita satu truk, duduk di atas kobis-kobis berbau sampah, sambil meremasi tetek tengkulak sayur, dan lalu sama-sama kaget, ketika truk tiba-tiba terhenti kerna distop oleh polisi, yang menarik pungutan tidak resmi. Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa, kerna sama-sama anak jalan raya. Orang-orang dipindah kesana ke mari. Bukan dari tujuan ke tujuan. Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan. Kini kita bersandingan, saudara. kita memang pernah bertemu. Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah tepat pada waktu kamu juga menariknya. Kita saling berpandangan. Kamu menggendong anak kecil di punggungmu. hendak berkata sesuatuÂÂÂ.. Lebih dulu tinjumu melayang ke dagukuÂ.. Dalam pandangan mata berkunang-kunang, membawa helaian plastik itu Kamu lapiskan ke atap gubugmu, dan lalu kamu masuk dengan anakmuÂ.. Sebungkus nasi yang dicuri, Kolong kios buku di terminal Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini, karena kita anak jadah bangsa yang mulia. Hidup macam apa hidup ini. Di taman yang gelap orang menjual badan, agar mulutnya tersumpal makan. Di hotel yang mewah istri guru menjual badan agar pantatnya diganjal sedan. Duabelas pasang payudara gemerlapan, bertatahkan intan permata di sekitar putingnya. celana dalam sutera warna kesumba. Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua. kita memang pernah berjumpa. menjilati selangkang wanita, sambil kepalanya diguyur anggur. Ya, kita sama-sama germo, yang menjahitkan jas di Singapura mencat rambut di pangkuan bintang film, dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat. Kerna khayalan dinyatakan, dan kenyataan dikhayalkan, di dalam peradaban fatamorgana. kamu kenal suara batukku. Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar. Ya, memang aku. Temanmu dulu. Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu bergiliran meniduri gula-gulanya, dan mengintip ibumu main serong Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita. Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu, dan akhirnya menggeletak di emper tiko, di samping kere di Malioboro. kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita. Kekuasaan mendukung kita serupa ganja Kita tulis dengan keringat di ketiak, Kitalah gelandangan kaya, yang perlu meyakinkan diri Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan. Ya, jangan kamu ragu-ragu, kita memang pernah bertemu. Bukankah tadi telah kamu kenal Kita dulu pernah menyetop lalu lintas, melambaikan poster-poster, dan berderap maju, berdemonstrasi. Kita telah sama-sama merancang strategi di panti pijit dan restoran. secara teliti kita susun jadwal waktu. Bergadang, berunding di larut kelam, sambil mendekap hostess di kelab malam. Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa. Politik adalah cara merampok dunia. Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa. Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan. dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi lalu ke mobil sport, lalu helikopter ! Politik adalah festival dan pekan olah raga. Politik adalah wadah kegiatan kesenian. Dan bila ada orang banyak bacot, kita cap ia sok pahlawan. Dimanakah kunang-kunag di malam hari ? Dimanakah trompah kayu di muka pintu ? Kita telah sama-sama berdiri di sini, melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api, gunung yang kelabu membara, kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani di putar blue-film di dalamnya. Ludah menyembur dan melimpah. Waktu melanda dan melimpah. Lalu muncullah banjir suara. Suara-suara di kolong meja. Suara-suara di dalam lacu. Suara-suara di dalam pici. dunia terbakar oleh tatawarna, Warna-warna nilon dan plastik. Warna-warna seribu warna. Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi yang kita tidak tahu apa-apa, namun lahir dari perbuatan kita. Puisi 37 Sajak Burung-burung Kondor Rendra Yogya, 1973 Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. melihat jejak-jejak sedih para petani buruh yang terpacak di atas tanah gembur namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. dari parit-parit wajah rakyatku. rakyat negeriku bergerak dengan lunglai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, di dalam usaha tak menentu. Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah, dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai, dan sukmanya berubah menjadi burung kondor. Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan disana mendapat hiburan dari sepi. mampu menghisap dendam dan sakit hati. Burung-burung kondor menjerit. bergema di tempat-tempat yang sepi. Burung-burung kondor menjerit di batu-batu gunung menjerit bergema di tempat-tempat yang sepi Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara, dan di kota orang-orangâ bersiap menembaknya. Puisi 38 Sajak Bulan Purnama Rendra Yogya, 22 Oktober 1976 Bulan terbit dari lautan. Rambutnya yang tergerai ia kibaskan. menyinari gubug-gubug kaum gelandangan Para pencuri bermain gitar. dan kaum pelacur naik penghasilannya. anugerah bagi sopir taksi. bagi tukang kopi di kaki lima. Bulan purnama duduk di sanggul babu. Dan cahayanya yang kemilau membuat tuannya gemetaran. kemari, kamu ! kata tuannya Tidak, tuan, aku takut nyonya ! maka tuannya bertindak masuk dapur Bulan purnama raya masuk ke perut babu. menjadi mimpi yang gemilang. rembulan turun di jalan raya, dan parfum yang tajam baunya. Ia disambar petugas keamanan, lalu disuguhkan pada tamu negara Puisi 39 Nota Bene Rendra Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978 Lunglai ganas karena bahagia dan sedih, indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana. Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit, dan anak kita akan lahir di cakrawala. Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya. Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku. Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan. Puisi 40 Hai, Kamu! Rendra Jakarta, 29 Pebruari 1978 Luka-luka di dalam lembaga, intaian keangkuhan kekerdilan jiwa, noda di dalam pergaulan antar manusia, duduk di dalam kemacetan angan-angan. Aku berontak dengan memandang cakrawala. Jari-jari waktu menggamitku. Aku menyimak kepada arus kali. Lagu margasatwa agak mereda. Indahnya ketenangan turun ke hatiku. Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku. Puisi 41 Sajak Pulau Bali Rendra Pejambon, 23 Juni 1977. Sebab percaya akan keampuhanÂ0â2 industri dan yakin bisa memupuk modal nasional dari kesenian dan keindahan alam, maka Bali menjadi obyek pariwisata. tanpa basa-basi keyakinan seperti itu, Bali harus dibuka untuk pariwisata. pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin, dan maskapai penerbangan harus berjalan. Harus ada orang-orang untuk diangkut. Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual. Dan waktu senggang manusia, serta masa berlibur untuk keluarga, harus bisa direbut oleh maskapai untuk dibungkus dalam kertas kado, dan disuguhkan pada pelancong. Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia, di muka perkemahan kaum Badui, di sisi mana pun yang tak terduga, lebih mendadak dari mimpi, merupakan kejutan kebudayaan. Inilah satu kekuasaan baru. Begitu cepat hingga kita terkesiap. Begitu lihai sehingga kita terkesima. Dan sementara kita bengong, pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi, membawa bentuk kekuatan modalnya lapangan terbang. hotel bistik dan coca cola, jalan raya, dan para pelancong. Lihat orang-orang pribumi itu! Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera. Fantastic ! Kita harus memotretnya ! Awas ! Jangan dijabat tangannya ! senyum saja and say hello. Siapa tahu ada telor cacing di situ. My God, alangkah murninya mereka. Ia tidak menutupi teteknya ! Look, John, ini benar-benar tetek. Lihat yang ini ! O, sempurna ! Mereka bebas dan spontan. Aku ingin seperti merekaÂ.. Okey ! Okey !Â.Ini hanya pengandaian saja. Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha. Look, now, John, jangan cemberut ! Berdirilah di sampingnya, selalu tertarik membantu negara miskin untuk membuat proyek raksasa. Artinya yang 90 % dari bahannya harus diimpor. atau kemajuan penyalur dan pemakai. hotel-hotel pribumi bangkrut digencet oleh packaged tour. Kebudayaan rakyat ternoda digencet standar dagang internasional. Tari-tarian bukan lagi satu mantra, tetapi hanya sekedar tontonan hiburan. Pahatan dan ukiranÂ0â2 bukan lagi ungkapan jiwa, tetapi hanya sekedar kerajinan tangan. Hidup dikuasai kehendak manusia, tanpa menyimak jalannya alam. Kekuasaan kemauan manusia, yang dilembagakan dengan kuat, tidak mengacuhkan naluri ginjal, hati, empedu, sungai, dan hutan. pantai, gunung, tempat tidur dan pura, Sumber Puisi Penyair TerkenalOdQTW.